Tambang emas di tepi sungai Degeuwo, Nabire, Papua. Foto: Dokumen Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni/Mongabay Indonesia.
Paniai, MAJALAH
SELANGKAH -- Tahun 2003 ke
bawah, Degeuwo adalah sebuah wilayah yang tidak dikenal orang. Daerah yang
terisolasi, tanah kermat yang paling menakutkan bagi warga di
luar Degeuwo di
sekitar Kabupaten Paniai, Kabupaten Nabire, dan Kabupaten Dogiyai. Namun, ketika
seorang petani mendapat butiran-butiran emas saat mencabut tanaman kacang tanah
miliknya pada 2003, daerah itu berubah wajah.
Selama 1 tahun (2003-2004), warga
setempat mendulang secara tradisional, tanpa orang luar. Selanjutnya, sejak
tahun 2004 akhir, berita tentang biji-biji emas di tanah keramat itu mulai
menyebar luas. Orang dari sejumlah pelosok di seluruh tanah air Indonesia
datang dan mulai mendirikan tenda di kawasan itu (mulai mendirikan kios, kafe,
dan karaoke). Degeuwo seketika menjadi kota besar.
Lokasi penambangan tradisional Degeuwo
sebagian besar termasuk dalam wilayah administrasi Distrik Bogobaida, Kabupaten
Paniai. Lokasi penambangan ini berada tepat di pinggiran Sungai Degeuwo, maka
disebut penambangan emas Degeuwo. Untuk menuju Degeuwo, harus menggunakan
helikopter dari Nabire. Kini, lapangan terbang milik swasta telah dibangun di
sana. Jalan kaki dari Enarotali, Paniai ditempuh dalam waktu 4-5 hari untuk
menuju ke tempat pendulangan.
TIDAK HANYA
DULANG
Magaibo (45), warga Degeiwo beberapa
pekan lalu di Nabire bercerita, selain menambang, banyak pendatang datang tidak
hanya untuk dulang. Ada yang usaha biliar. Lalu, di biliar itu banyak
perempuan. Banyak orang di biliar itu. Ada juga karaoke.
Ketua Aliansi Intelektual Suku Wolani
dan Moni (AISWM), Thobias Bagubau di Nabire mengatakan, dari hasil kunjungannya
di Degeuwo tercatat bahwa 27 kafe, 24 tempat biliar, 20 rumah pekerja seks
komersial, kios pengusaha illegal 70 lebih, tempat jual minuman keras banyak.
Dia juga mengatakan, di sana terdapat juga sarana TNI dan Brimob. Ini bahaya
sekali, katanya.
Ketua Dewan Adat Paniai, John Gobay mengatakan, perlahan-lahan persoalan sosial muncul. Ada pula perempuan yang dibawa ke wilayah operasi tambang itu dan menjadi pelacur. Dampak pelacuran, meski tersembunyi, kian marak dan penyebaran virus HIV dan AIDS terus merebak. Hutan di sekitar wilayah penambangan rusak.
Ketua Dewan Adat Paniai, John Gobay mengatakan, perlahan-lahan persoalan sosial muncul. Ada pula perempuan yang dibawa ke wilayah operasi tambang itu dan menjadi pelacur. Dampak pelacuran, meski tersembunyi, kian marak dan penyebaran virus HIV dan AIDS terus merebak. Hutan di sekitar wilayah penambangan rusak.
Melihat kondisi Degeuwo itu, berbagai
pihak mengecam pengusaha tambang emas di Degeuwo. Banyak pihak menilai,
pengusaha di Degeuwo membuat rakyat menderita bukan hanya karena tanah adat
diambil tanpa membayar tetapi juga karena miras dan penyakit. Sementara hutan
juga hancur.
Data yang dihimpun majalahselangkah.com menunjukkan bahwa pengusaha telah
mendatangkan 430 PSK ke Degeuwo. Pekerja seks komersial ditempatkan di sejumlah
rumah bordir di sekitar pertambangan. Dinilai, PSK didatangkan oleh pengusaha
dan di-back up oleh aparat.
Harga barang di sana sangat mahal. Mereka anggap semua orang di sini dulang. Padahal ada warga yang tidak dulang. Para pendatang kuasai pasar. Kami tidak bisa apa-apa. Mereka mendirikan kios-kios dengan harga barang di atas kewajaran. Beras satu kilo mereka jual dengan harga Rp50.000. Silet merk tatra 1 buah dijual dengan harga Rp10.000;. Harga sangat mahal. Kami setengah mati, kata Magaibo bersaksi.
Harga barang di sana sangat mahal. Mereka anggap semua orang di sini dulang. Padahal ada warga yang tidak dulang. Para pendatang kuasai pasar. Kami tidak bisa apa-apa. Mereka mendirikan kios-kios dengan harga barang di atas kewajaran. Beras satu kilo mereka jual dengan harga Rp50.000. Silet merk tatra 1 buah dijual dengan harga Rp10.000;. Harga sangat mahal. Kami setengah mati, kata Magaibo bersaksi.
Salah satu warga, Stef (29) di Paniai
mengelukan soal ratusan wanita penghibur yang didatangkan dari Jawa dan
Sulawesi. Pengusaha datangkan Wanita Pekerja Seks Liar (WPSL) di sana.
Perempuan banyak,. Di sana terdapat ratusan tempat hiburan. Kafe, karaoke dan
biliar yang disediakan juga minuman keras dan pelayannya adalah para wanita.
Saya lihat, banyak warga lokal yang masuk di bar-bar. Mereka jajan
di sana (berhubungan seks:red). Masuk di bar itukan stor emas. Kita bisa stor 2
gram sekali grak, hehe Padahal, 2 gram itu kita dapat dengan stengah mati bru,
kata Stef. Peredaran minuman beralkohol yang dikirim dari Nabire dengan
menggunakan jasa Helikopter makin meresahkan warga setempat. Minuman keras
(miras) juga ikut memicu keributan dan dampak sosial lainnya. Ia menuding,
miras merupakan rejeki bagi oknum aparat kepolisian, baik di KP3 Udara (Polsek
Bandara Nabire) maupun di lokasi pendulangan. Setiap ada pemasokan miras, ada
setoran Rp 500.000/karton.
Terkait miras dan WPSL, Ketua
DAP Wilayah Meepago, Benny Edoway mempertanyakan kunjungan DPRP pada Desember
2009 silam. DPRP sudah turum pada Desember 2009. lalu Saat itu kami sudah beri
laporan tetapi tidak ada reaksi. Kami mau, pemerintah stop pendulangan.
Bubarkan semua orang di Degeuwo. Kami mau tenang di tanah kami. Kami lihat
semua kacau balau. Kami terancam habis di atas kekayaan kami. Pemerintah
provinsi tolong buka mata,katanya.
SISAKAN BAHAYA
MERKURI
Hal lain yang dikeluhkan Stef (29) yang baru saja tiba di kota Enarotali dari tempat pendulangan adalah penggunaan air raksa atau merkuri (Hg) untuk memisahkan emas dan kotoran lain di tempat pendulangan.
Katanya, dulu, saat belum ada orang luar, warga mendulang tanpa menggunakan alat apa pun. Warga dulang secara manual tanpa mesin dan bahan kimia. Tetapi, kedatangan orang-orang luar membawa juga mesin dan bahan kimia pemisah emas, merkuri. Kami merasa kalah saing dengan mereka yang datang dari luar. Lalu, sebagai gantinya kami memilih menggunakan air raksa atau merkuri. Itu pun kalau ke kota dan beli, katanya.
Bahan berbahaya itu digunakan untuk
mengikat emas dalam bentuk amalgam. Emas kemudian dibebaskan lagi dengan
menguapkan merkuri melalui cara pemanasan. Harga merkuri memang mahal, namun
lebih cepat. Satu ember pasir bercampur emas jika didulang dengan lenggangan butuh
waktu berhari-hari, namun jika menggunakan satu ons merkuri seharga Rp300.000
hanya butuh waktu satu jam, kata Stef. Dengan cara ini, lumayan cepat dan ada
hasil. Tetapi, saya baru tahu kalau bahan itu berbahaya untuk manusia dan alam.
Saya jadi tahu bahwa ternyata penambangan emas di Degeuwo itu telah menjadi
sumber pencemaran merkuri, kata lelaki beranak satu itu.
Benny Edoway membantah pernyataan
Kepala Kepolisian Papua yang mengatakan, aktivitas penambangan emas di Paniai
dan Nabire tidak mencemari lingkungan seperti yang dilangsir KBR68H Jakarta, 24
Februari 2010 lalu. Dia hanya lihat-lihat dari helicopter lalu mengatakan
pendulang tidak memakai mercuri. Padahal kenyataannya, pendulang pakai merkuri,
kata Benny. Sebelumnya Solidaritas Penyelamatan Tanah, Hutan dan Orang
Asli Papua (Setahap) dan Dewan Adat Paniai meminta Pemerintah Daerah Papua
segera menutup penambangan emas liar Paniai. Alasannya, selain tidak punya
izin, Sungai Degeuwo menjadi tercemar dengan merkuri dan arsenic gara-gara
aktivitas itu. Tanah yang dulu subur kini menjadi tandus dan gersang. John
Gobay juga meminta aktivitas 50-an pendulang emas liar dihentikan. Pinggiran
sungai sudah terkikis akibat alat berat yang digunakan para pendulang ,
katanya.
Selain itu, aktivitas penambangan emas liar yang sudah berlangsung sejak 2002 telah mengabaikan hak-hak masyarakat adat, misalnya hak atas tanahnya dan juga pengabaian atas pembagian kompensasi hasil pendulangan emas.
Selain itu, aktivitas penambangan emas liar yang sudah berlangsung sejak 2002 telah mengabaikan hak-hak masyarakat adat, misalnya hak atas tanahnya dan juga pengabaian atas pembagian kompensasi hasil pendulangan emas.
Direktur Yayasan Pengembangan
Kesejahteraan Masyarakat (Yapkema), Hanok Pigai di Nabire mengatakan, belasan
sungai di Degeuwo telah tercemar merkuri, dan rata-rata telah melampaui ambang
batas. Di setiap kali itu sekurangnya terdapat 60 unit mesin milik penambang
emas warga pendatang yang beroperasi.
Di Nonouwo Dide jumlah penambang banyak dan 480 unit mesin. Jadi, dalam tiga
bulan setiap mesin membuang satu kilogram merkuri. Artinya, mereka membuang
merkuri sekitar dua ton. Kalikan saja sendiri secara matematis. Betapa
bahayanya, kata Hanok.
Kembali Edoway mengutip hasil
penelitian Moses Nicodemos, kadar merkuri di permukaan air kali-kali tersebut
itu sudah mencapai 0,008 miligram per liter padahal, ambang batasnya 0,001
miligram per liter. Yuliana Pakan, S.T., alumna Teknik Industri, Jurusan Kimia
dari Universitas Kristen Paulus Makassar membenarkan adanya ambang batas air.
Katanya, jika sudah melewati 0,008 miligram itu sudah berbahaya bagi manusia.
Yang jelas, ada ambang batas. Ada aturannya. Lewat dari aturan ada batasnya.
Itu tugasnya, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. Merkuri itu salah satu
jenis logam yang banyak ditemukan di alam dan tersebar dalam batu-batuan, biji
tambang, tanah, air dan udara sebagai senyawa anorganik dan organik. Jadi,
berbagai jenis aktivitas manusia dapat meningkatkan kadar ini, misalnya
aktivitas penambangan yang dapat menghasilkan merkuri sebanyak 10.000 ton /
tahun, kata Pakan.
Gejala-gejala yang diakibatkan oleh
tercemar merkuri seperti ayan, tangan gemetar, pelupa, mati rasa, sulit tidur,
sakit kepala terus-menerus, serta berkurangnya pendengaran dan penglihatan, dan
juga cacat janin bagi ibu hamil. Pada kesempatan yang berbeda, kepada
wartawan, Alumnna Geofisika dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta
Riyanawati, S.Si., mengungkapkan khawatirannya atas penggunaan merkuri di
pendulangan emas Degeuwo. Merkuri itu zat kimia yang sangat berbahaya.
Bahanyanya tidak bisa langsung tetapi lima enam tahun ke depan. Pada pH rendah,
merkuri menjadi larut dan diubah oleh jasad renik menjadi metilmerkuri yang
stabil, sukar diurai, sangat beracun, dan larut dalam air," kata
Riyanawati.
POLISI MENGERUK
Beberapa warga mengeluh, polisi sering mengeruk. Jika terjadi masalah tanah
(hak ulayat) polisi membela pengusaha. Kami ditakuti dengan senjata. Padahal
itu tanah kami. Pengusaha bayar polisi, kata Paulus berkisah. Kami minta
Rp15 juta, mereka bayar Rp10 juta. Dong tipu banyak. Dong kasih kami Rp 10 juta
dengan lembaran uang seratusan, tetapi sisanya dong bayar pakai puluhan ribu.
Kami tidak tahu hitung. Pada waktu itu polisi bilang, itu uang banyak itu kami
minta apa lagi. Kami tidak tahu hitung, maka percaya saja. Apalagi polisi
takuti kami saat membayar, kata Magaibo warga Degeuwo di Nabire belum lama ini.
Pihak kepolisian mengatakan, aparat
kepolisian sering ditugaskan di Bayabiru dalam rangka mengawasi keamanan di
lokasi pendulangan dan sekitarnya. Di lokasi pendulangan harus ada aparat
keamanan. Kalau tidak ada, siapa yang mau amankan jika ada terjadi apa-apa,kata
Alwi.
Polisi berjanji , jika ada anggota yang bertindak diluar prosedur dan melanggar aturan, tetap akan diproses sesuai hukum yang berlaku. Namun, dinilai warga, polisi berlaku di luar prosedur tetapi jarang diproses sesuai aturan walaupun ada laporan warga.
Polisi berjanji , jika ada anggota yang bertindak diluar prosedur dan melanggar aturan, tetap akan diproses sesuai hukum yang berlaku. Namun, dinilai warga, polisi berlaku di luar prosedur tetapi jarang diproses sesuai aturan walaupun ada laporan warga.
DEGEUWO TUTUP
Berbagai pihak merekomendasikan pemerintah Kabupaten Nabire dan
Paniai bersama pemerintah provinsi Papua duduk bersama untuk membicarakan
berbagai soal ini dan menutup pertambangan itu. Dinilai kunjungan yang
dilakukan oleh DPRP provinsi Komisi A pemerintah Paniai, Pemerintah Nabire, dan
pekerja kemanusiaan belum membuahkan hasil keputusan yang jelas.
Membicarakan untuk tutup Degeuwo adalah hal urgen. Bubarkan seluruh aktivitas
di sana. Bubarkan semua orang yang ada di sana, kata Dewan Adat Wilayah Mepago,
Benny Edoway.
Anggota Komisi A DPRP, Harun Agimbau
beberapa waktu lalu berkomentar, masalah ini sudah sangat urgen, sebab menuju
pada genoside orang asli Papua, terutama wilayah di distrik Biandoga dan
Bogobaya (pintu masuk Paniai). Di sisi lain ada berbagai lokalisasi dan
tempat-tempat hiburan yang tidak membangun, katanya. Ia menyesalkan adanya
upaya Polda Papua, walaupun sudah turun ke lapangan namun belum dapat menindak
tegas pelaku-pelaku yang merusak tanah dan warga asli Papua di Degeuwo.
Katanya, kemungkinan ada kekuatan besar yang bermain di sana, katanya.
Berdasarkan intruksi gubernur, Polres
Paniai telah melakukan penertiban. Polisi Paniai melaporan telah membubarkan 13
lokasi yang tak berizin. Sementar 4 perusahaan yang memiliki izin tidak
dibubarkan. Laporan polisi ini ditanggapi aktivis LMS, Thobias Bagobau.
Kata Thobias, Polisi sudah turun tetapi aktivitas penambangan tidak berubah.
Semua masih ada. Saya sudah turun ke sana. Masyarakat minta bubarkan semua. Ada
izinkah ka tidak ada izinkah harus distop semua, katanya.
Anggota DPRD Nabire, Henky Kegou, S.H.
mengatakan, pendulangan di Degeuwo itu tidak menguntungkan bagi rakyat maupun
pemerintah. Kalau tidak menguntungkan untuk apa pengusaha-pengusaha itu
dibiarkan merusak moral rakyat dan hutan di sana. DPRD Nabire terus memantau
pendulangan itu dan benar-benar merugikan. Kita harus tutup, katanya.
Ketua Komisi A DPRP, Ruben Magai mengatakan, pengusaha di sana nakal. Pengusaha
di sana agak nakal. Tampaknya ada dukungan oknum dari militer atau kepolisian.
Surat edaran Bupati Paniai pada akhir 2009 saja tidak dianggap. Ada juga
intruksi gubernur tetapi mereka malas tahu. Mereka mau dengar siapa. Tidak ada
sumbangan bagi pembangunan. Kalau kita mau selamatkan manusia dan alam di sana,
solusinya tutup, kata Magai.
Sumber : www.majalahselangkah.com tulisan asli di www.sampari.blogspot.com
No comments:
Post a Comment