Willem
Wandik, Anggota DPR-RI Dapil Papua. Jubi/Arjuna
|
Yogyakarta, Jubi – “Aneh tapi nyata, itulah fenomena penegakan hukum di republik Indonesia,
perlahan tetapi pasti penggiringan opini oleh media nasional melalui
penangkapan sejumlah anggota masyarakat yang katanya sebagai dalang kerusuhan
di Tolikara,
seperti mengungkapkan tabir kebohongan aparat penegak hukum yang selama ini berperilaku diskriminatif terhadap manusia berambut keriting dan berkulit hitam di tanah Papua,” tulis Willem Wandik, anggota DPR RI perwakilan Papua seperti dikutip Jubi dari website pribadinya, Selasa (4/8/2015).
seperti mengungkapkan tabir kebohongan aparat penegak hukum yang selama ini berperilaku diskriminatif terhadap manusia berambut keriting dan berkulit hitam di tanah Papua,” tulis Willem Wandik, anggota DPR RI perwakilan Papua seperti dikutip Jubi dari website pribadinya, Selasa (4/8/2015).
Menggunakan nalar dan akal sehat
tentunya kita bisa mencerna dengan sangat baik, akar persoalan yang
mengakibatkan terjadinya peristiwa di tanggal 17 Juli 2015 silam.
Menurt Wandik, kronologisnya,
(1) Surat pemberitahuan –
(2) Polisi tetap memerintahkan warga muslim dengan jaminan penjagaan senjata laras panjang –
(3) Masyarakat mendatangi kegiatan warga muslim –
(4) Aparat kepolisian menembak warga –
(5) Belasan warga terkena luka tembak dan 1 meninggal dunia –
6) Masyarakat lalu bertindak anarkis merespons penembakan brutal aparat-
(7) Sejumlah bangunan kios terbakar beserta musholla.
(1) Surat pemberitahuan –
(2) Polisi tetap memerintahkan warga muslim dengan jaminan penjagaan senjata laras panjang –
(3) Masyarakat mendatangi kegiatan warga muslim –
(4) Aparat kepolisian menembak warga –
(5) Belasan warga terkena luka tembak dan 1 meninggal dunia –
6) Masyarakat lalu bertindak anarkis merespons penembakan brutal aparat-
(7) Sejumlah bangunan kios terbakar beserta musholla.
“Kemarahan warga tidak akan terpicu
jika saja aparat bersenjata tidak menembaki warga secara brutal, seolah-olah
manusia berambut keriting dan berkulit hitam dipandang sebagai manusia yang
tidak memiliki hak asasi untuk hidup,” katanya.
“Kepada para pemilik media nasional,
Anda yang menggiring opini publik dan menampilkan pemberitaan yang berat
sebelah, apakah bisa anda sebutkan satupun dari warga muslim yang tewas
terbunuh disaat tragedi Tolikara terjadi? Siapa nama mereka? Dari mana asal
mereka? Seolah-olah mempertegas permasalahan sektarian berdasarkan isu agama,
kalian (media nasional) melupakan esensi peristiwa yang terjadi di Tolikara
sebagai bentuk tindakan provokasi yang dilakukan oleh aparat, dengan terlebih
dahulu mengabaikan gejala-gejala sosial yang dapat dicegah upaya preventif dan
ditambah lagi dengan penembakan secara brutal kepada masyarakat, dengan
tewasnya salah seorang warga,” tulisnya.
Katanya, sorotan kamera wartawan
benar-benar tajam menampilkan sosok tersangka dari masyarakat yang katanya
provokator peristiwa kerusuhan Tolikara. Benar-benar drama yang sangat
memuakkan mata. Di sisi lain masyarakat yang turut menjadi korban penembakan
aparat bersenjata, tidak satupun mendapatkan porsi pemberitaan yang seimbang
oleh wartawan dari berbagai media nasional.
“Sungguh lengkap sandiwara penegakan
hukum di Tanah Papua, di mana para penjahat yang sebenarnya tetap hidup tenang
dan tidak tersentuh hukum sama sekali,” ucapnya.
Hikmah penting dari perisitiwa
Tolikara adalah Aparat Bersenjata tidak pernah bersalah, meskipun mereka
membunuh masyarakat dengan secara brutal, para penegak hukum yang notabene
adalah dari institusi mereka sendiri, akan berusaha melindungi korps dan
institusinya sendiri, dserta berusaha membenarkan alibi anggotanya bahwa pihak
yang bersalah atas tragedi Tolikara adalah masyarakat berambut keriting dan
berkulit hitam.
Siapa yang bisa mengembalikan nyawa
warga yang tewas di tembak secara brutal oleh aparat. Apakah hukum direpublik
ini bisa mengembalikan nyawa manusia yang telah tewas? Kemana hukum positif di
republik ini yang katanya menjunjung tinggi hak asasi manusia? Bukankah hak
untuk hidup merupakan hak asasi yang tidak boleh dicabut oleh siapapun karena
merupakan hak prerogatif Tuhan yang Maha Pencipta?
“Mengingat perilaku aparat bersenjata
yang telah berpuluh tahun lamanya, mengabaikan hak hidup manusia-manusia
berambut keriting dan berkulit hitam, tewasnya satu orang warga di Tolikara
mungkin dipandang oleh mereka sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja,” kata
Wandik.
Bagi mereka tidak ada perbedaan
dengan menembak tewas 1 orang berambut keriting dan berkulit hitam di Tolikara
pada tragedi 17 Juli 2015 silam, dibandingkan tewasnya ratusan hingga ribuan
manusia berambut keriting dan berkulit hitam sejak bangsa Papua berintegrasi bersama
republik ini. Hukum di republik ini masih mengikuti kemana arus kepentingan dan
keinginan dari para penguasa yang mengendalikan rasa keadilan menurut persepsi
dan kepentingan mereka sendiri.
Sebelumnya seperti ditulis media ini,
Umat GIDI dan umat muslim di Tolikara telah sepakat untuk menyelesaikan masalah
insiden yang terjadi di Karubaga, Kabupaten Tolikara pada tanggal 17 Juli 2015
secara bersama-sama. Kedua belah pihak juga sepakat bahwa penyelesaian masalah
ini akan diselesaikan sendiri oleh kedua belah pihak di Papua tanpa campur
tangan pihak luar Papua. Difasilitasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB),
Rabu (29/7/2015) kedua belah pihak menyepakati tujuh point sebagai landasan
penyelesaian masalah yang timbul karena insiden tanggal 17 Juli 2015.
Kesepakatan yang dilakukan di Kantor FKUB ini ini disaksikan oleh Pengurus
Wilayah Nahdatul Ulama Provinsi Papua, Sinode Kingmi, dan Kelompok Masyarakat
Sipil Papua. (Arnold Belau)
http://suarawiyaimana.blogspot.com/2015/08/anomali-hukum-indonesia-rakyat.html