Pelapor Khusus PBB untuk bidang Kebebasan Berkumpul Secara Damai dan Berserikat, Maina Kiai (Foto: AFP)
JENEWA, - Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk
kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat, Maina Kiai, mengangkat
tindakan represif pemerintah Indonesia di Papua sebagai salah satu contoh
ancaman bagi hak kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat.
Ia
menyamakan represi Indonesia di Papua dengan yang perlakuan pemerintah Tiongkok
terhadap Tibet dan Uighur serta yang dilakukan pemerintah India dan Mauritania
terhadap masyarakat dengan kasta yang lebih rendah di negara mereka.
Maina
Kiai yang merupakan special
rapporteur PBB untuk hak kebebasan berkumpul secara damai dan
berserikat, mengangkat isu tersebut ketika mendapat kesempatan bicara
menyampaikan laporannya pada sidang Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB sesi
ke-32, di Jenewa pada hari Jumat (17/6). Pidatonya sepanjang 15 menit itu dapat
juga dilihat dalam siaran televisi internet PBB, webtv.un.org.
Pelapor
khusus atau disebut juga perwakilan khusus Sekjen PBB, adalah seorang ahli
independen yang diberi mandat oleh PBB untuk melakukan investigasi terhadap
pokok yang ditugaskan kepadanya.
Laporan
Maina Kiai yang menyinggung isu Papua tersebut terutama membahas tentang
fundamentalisme agama, pasar, politik, nasionalis dan budaya.
Dalam
paparannya ia mengatakan fundamentalisme telah menumbuhkan intoleransi di
seluruh dunia dan mengancam kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat.
Kiai
mengatakan konsep tentang fundamentalisme tak bisa dibatasi hanya pada
fundamentalisme agama tetapi lebih luas lagi.
"Hal
ini dapat dan harus didefinisikan secara lebih luas, mencakup setiap gerakan -
yang tidak hanya agama. Yang menganjurkan ketaatan dan literal untuk satu set
keyakinan dasar atau prinsip-prinsip," kata dia.
Dia
menjelaskan fundamentalisme budaya dan nasionalisme dapat berwujud dominasi dari
budaya tertentu, bahasa tertentu, bahkan tradisi tertentu yang merasa yakin
lebih unggul daripada yang lain.
“Laporan
saya mendokumentasikan fenomena ini di Tiongkok yang membatasi hak berkumpul
dan berserikat orang-orang Tibet dan Uighur; di Indonesia terhadap etnis Papua
Barat; dan di tempat-tempat seperti India dan Mauritania terhadap individu yang
dianggap kasta yang lebih rendah,” kata Kiai, pakar HAM dari negara Kenya itu.
Ia
juga menyebutkan ada kenaikan yang signifikan dalam bentuk fundamentalisme
beberapa tahun terakhir, seperti yang terlihat dalam meningkatnya popularitas
banyak partai politik sayap kanan, terutama di Austria, Denmark, Hungaria dan
Swiss.
“Contoh
fundamentalisme awalnya mungkin tampak berbeda, tetapi mereka memiliki kesamaan
penting. Dalam setiap kasus, sikap superioritas telah memicu proses
dehumanisasi atau delegitimasi kelompok tertentu. Secara bertahap, hak-hak
kelompok-kelompok ini dihilangkan. Proses ini dapat menyebabkan konsekuensi
yang menghancurkan, karena sejarah telah membuktikannya berkali-kali,” kata
Kiai.
Menurut
Kiai, hak atas kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat adalah
'landasan' toleransi, karena hak-hak itu membantu memastikan bahwa
"seluruh umat manusia, dalam keragaman yang menakjubkan, memiliki suara."
Meskipun
demikian, kata dia, banyak negara yang bergerak ke arah yang salah,
mempromosikan sudut pandang fundamentalis entah melalui kebijakan pemerintah
atau dengan mendukung aktor non-negara menekan perbedaan pendapat.
Fundamentalisme
politik, menurut dia, juga menimbulkan masalah yang sama. Fundamentalisme
politik mengharuskan kepatuhan buta kepada platform politik resmi atau
kesetiaan kepada para pemimpin tertentu. Ia mencontohkan Republik Rakyat
Demokratik Korea, Bahrain, Tiongkok, Kuba, Laos dan lain-lain sebagai contoh.
"Hak
atas kebebasan berkumpul dan berserikat tidak bisa diragukan adalah termasuk
hak untuk berkumpul dan berorganisasi untuk tujuan politik," kata Kiai.
"Bahkan,
salah satu tujuan utamanya adalah untuk melestarikan kemampuan orang untuk
dengan damai mengungkapkan keluhan mereka kepada para pemimpin politik. Hal ini
dapat menimbulkan ancaman terhadap pemerintah yang berkuasa, tetapi hal ini
tidak harus dikacaukan sebagai ancaman bagi negara. Yang pertama adalah
demokrasi yang sedang bekerja, yang terakhir adalah bagaimana otokrasi
bekerja."
Di
bagian lain, ia juga menyinggung tentang fundamentalisme pasar bebas -keyakinan
kebenaran mutlak pada kebijakan ekonomi pasar bebas -- yang menurutnya termasuk
merupakan ancaman mendesak.
Ia
mencatat hukum di Australia dan Kanada berpotensi mengkriminalisasi mereka yang
melakukan protes anti-bisnis.
"Kegiatan
ekonomi tentu penting, tapi negara menapaki jalan yang berbahaya ketika
mereka memprioritaskan kebebasan pasar di atas kebebasan manusia. Hak ekonomi
investor seharusnya tidak mengalahkah hak asasi manusia seperti dicantumkan
dalam Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik."
Sebagai
catatan, pada 6 Juni lalu, sejumlah organisasi dan kelompok madani di Papua mengirimkan
surat kepada Maina Kiai, melaporkan meningkatnya ketegangan di Papua dan
maraknya penangkapan terhadap para aktivis yang mengadakan unjuk rasa damai.
Surat
tersebut dikirimkan oleh ELSHAM Papua, KPKC-KINGMI Papua, Komite Nasional Papua
Barat (KNPB),SKP Keuskupan Agung Merauke dan LP3BH Manokwari. Turut
menandatangani surat tersebut International Coalition on West Papua
(ICP), Westpapua-Netzwerk (WPN), JPIC OFM Indonesia, Vivat Indonesia-Timor
Leste, Vivat International Geneva, Franciscans International (FI), dan Geneva
for Human Rights (GHR).
Melalui
surat itu, mereka mengimbau antara lain agar pemerintah Indonesia menjamin
kebebasan informasi, kebebasan berkumpul secara damai dan mengemukakan pendapat
di Papua.
Surat
mereka juga meminta dibukanya akses bagi organisasi HAM internasional dan
wartawan asing ke Papua, dilakukannya pelatihan tentang HAM kepada kepolisian
Papua serta ditetapkannya tanggal kunjungan pelapor khusus PBB ke Papua.
Editor
: Eben E. Siadari
Sumber : http://www.satuharapan.com/read-detail/read/pelapor-khusus-pbb-angkat-isu-papua-di-dewan-ham-pbb
No comments:
Post a Comment