Obi
Kogoya (20 thn) Mahasiswa Papua di Yogya yang diperlakukan bukan
seperti manusia. Ini tindakan ormas didukung Polisi pada 15 Juli 2016,
di asrama Mahasiswa Papua di Jogja.
BOUDIMI NEWS, Indonesia adalah negara
hukum. Pemerintah bertanggung jawab melindungi HAM sesuai dengan UUD 1945 Pasal
28i ayat (4) yang berbunyi: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
Salah satu hak warga
negara yang dijamin konstitusi adalah hak menyampaikan pendapat di muka umum
sebagaimana dijamin pada Pasal 28 UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sedang mekanismenya dijamin dalam Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Untuk menjamin hak asasi
itu, negara telah memberikan mandat kepada pihak kepolisian sebagai pelindung,
pengayom, dan penegak hukum di dalam masyarakat. Namun, hingga hari ini hak
menyampaikan pendapat di muka umum yang dilakukan mahasiswa Papua di Yogyakarta
didiskriminasi dengan berbagai bentuk. Bahkan direpresi oleh aparat keamanan (TNI
dan POLRI) sehingga tidak dapat melaksanakan hak-hak konstitusinya.
Telah terjadi beberapa
tindakan pelanggaran hak konstitusi warga negara oleh polisi terhadap mahasiswa
Papua di Yogyakarta. Di antaranya, sebagai berikut:
1. Pengepungan asrama
Papua oleh polisi pada bulan April 2016.
Represivitas aparat (polisi) pada aksi mimbar bebas di depan asrama 2 Mei 2016 dan 30 Mei 2016.
Represivitas aparat (polisi) pada aksi mimbar bebas di depan asrama 2 Mei 2016 dan 30 Mei 2016.
2. Pengepungan asrama
oleh polisi pada tanggal 14 Juni 2016 dan represivitas sebelum dan pada saat
aksi 16 Juni 2016.
3. Pengepungan asrama
Papua oleh polisi pada tanggal 1 Juli 2016 dan 13 Juli 2016
4. Pembungkaman ruang
demokrasi pada tanggal 14 Juli 2016 oleh ratusan aparat Polri lengkap
menggunakan senjata dan mobil water canon yang dihadapkan tepat di depan pagar
asrama.
Pada hari ini Jumat, 15
Juli 2016 sejak jam 7 pagi, aparat kepolisian bersama dengan kelompok-kelompok
reaksioner mengepung dan memblokade asrama mahasiswa Papua Kamasan I. Tidak
seorang pun diizinkan keluar ataupun masuk. Bahkan mahasiswa Papua yang keluar
untuk membeli makanan ditangkap oleh aparat kepolisian. Saat ini ada sekitar
100 orang lebih mahasiswa Papua yang terjebak di dalam asrama yang membutuhkan
solidaritas, khususnya bantuan logistik.
Sikap kepolisian itu
sangat berlebihan dan jelas melanggar HAM. Selain itu, pengerahan pasukan untuk
penggepungan serta tindakan represivitas polisi terhadap mahasiswa Papua
sendiri perlu dipertanyakan.
Selain membungkam
perjuangan konstitusional mahasiswa Papua, tindakan represif ini membangun
stereotip untuk mendiskriminasikan mahasiswa Papua baik atas dasar rasis,
tindakan, pandangan, dengan tujuan menyembunyikan pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh polisi. Tindakan ini juga memicu terjadinya konflik sosial
antara mahasiswa Papua dengan warga sipil Jogja akibat diskriminasi yang
dibangun secara struktural oleh aparat di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sikap dan pendekatan
aparat terhadap mahasiswa Papua dan perjuangan HAM yang merupakan hak
konstitusi sejak awal 2016 hingga hari ini semakin membuat situasi di Daerah
Istimewa Yogyakarta tidak tenang. Semakin meresahkan warga Yogyakarta serta
membuat citra polisi dari pelindung, pengayom, dan penegak hukum menjadi buruk
karena membiarkan terjadinya konflik sosial berbasis diskriminasi dan rasis di
Yogyakarta
Diharapkan
seluruh warga Yogyakarta bersatu menyelamatkan ruang demokrasi yang nyaman
tanpa diskriminasi di wilayah Yogyakarta. Jangan biarkan aparat yang tidak
profesional menggunakan alat negara untuk menciptakan diskriminasi di
Yogyakarta. Diskriminasi dan rasisme adalah penyakit dalam kebhinekaan. Apakah
Cara Negara Berdemokrasi kebhinekaan Seperti itu...?
Oleh : Jhon Adii#
http://www.wenaskobogau.com/2016/07/bahaya-tindakan-reprensif-berbasis.html
No comments:
Post a Comment