BOUDIMI NEWS, Masalah
pelanggaran hak asasi manusia yang pernah terjadi di Indonesia kembali disorot,
bahkan oleh pihak-pihak dalam jaringan internasional. Meskipun laporan-laporan
itu belum menjadi tekanan yang nyata bagi Indonesia, tampaknya kita tidak bisa
mengabaikan begitu saja.
Yang
pertaman ada laporan tentang pelanggaraan HAM di Papua yang disampaikan ke
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) bulan lalu. Dan kemudian muncul pernyataan
dari panel hakim International People's Tribunal on Crimes Against Humanity
(IPT1965) di den Haag, Belanda.
Pelapor
Khusus PBB untuk kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat, Maina Kiai,
pada bulan Juni mengangkat tindakan represif pemerintah Indonesia di Papua
sebagai salah satu contoh ancaman bagi hak kebebasan berkumpul secara damai dan
berserikat.
Dia
bahkan menyamakan represi Indonesia di Papua dengan perlakuan pemerintah
Tiongkok terhadap Tibet dan Uighur, juga yang dilakukan pemerintah India dan
Mauritania terhadap masyarakat dengan kasta yang lebih rendah di negara mereka.
Sedangkan
pada Juli ini, IPT1965 menyebutkan Negara Indonesia harus bertanggung jawab
atas terjadinya "Kejahatan Terhadap Kemanusiaan" selama pembantaian
oleh barisan anti komunis terkait peristiwa 1965.
Panel
hakim itu dalam keputusannya menyebutkan Indonesia bertanggung jawab setelah
mereka mempelajari dokumen-dokumen yang ada dan mendengarkan semua kesaksian
para saksi yang dihadirkan. "Negara Indonesia juga dinyatakan bersalah
telah menghilangkan kewarganegaraan terhadap ribuan orang. Ini juga bisa
digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan," kata pernyataan itu.
Dua
hal itu sekadar cotoh dari berbagai catatan pelanggaran HAM di Indonesia yang
pernah disebutkan oleh sejumlah lembaga di dalam negeri maupun lembaga
internasional.
Respons Pemerintah Indonesia
Berbagai
kalangan menyebutkan bahwa IPT165 bukanlah pengadilan, dan juga tidak resmi
seperti Pengadilan Krisminal Internasional (ICC) yang di bawah naungan PBB.
Oleh karena itu, keputusan itu tidak mengikat bagi Indonesia.
Menteri
Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Luhut Binsar
Pandjaitan, juga menyatakan sikap Indonesia yang tidak akan mendengarkan apa
yang menjadi hasil putusan IPT1965 tersebut.
Alasannya
Indonesia tidak memiliki hubungan dengan IPT165 dan Indonesia memiliki sistem
hukum sendiri, sehingga tidak perlu mengikuti sistem hukum dari pihak manapun
selain Pemerintah Indonesia.
Namun
di sisi lain, dalam kasus pelanggaran HAM Papua, pernyataan datang dari dalam negeri
maupun jaringan internasional dan luar negeri yang tidak bisa diabaikan hanya
karena itu tidak resmi. Pernyataan secera umum menyebutkan agar pemerintah
Indonesia menyelesaikannya dengan segera.
Terkait
dengan apa yang diungkapkan oleh Pelapor Khusus dari PBB, Indonesia tentunya
tidak bisa beralasan bahwa itu bukan lembaga resmi. Apalagi masalah HAM di
Papua banyak dibicarakan dalam forum internasional.
Cakrawala Yang Lebih Luas
Oleh
karena itu, pijakan kita dalam merespons masalah HAM ini sebaiknya tidak
sekadar pada apakah pernyataan-pernyataan itu dikeluarkan oleh lembaga
resmi atau tidak resmi, atau keputusan itu mengikat atau tidak mengikat
terhadap Indonesia. Sebab, pernyataan yang dikeluarkan itu mengindikasikan
adanya rekognisi terjadinya pelanggaran HAM di Indonesia.
Seperti
kita ketahui bahwa masalah-masalah pelanggaran HAM di suatu negara sering
menjadi sorotan luas dari dalam negeri maupun internasional. Lepas kita setuju
atau tidak, pelanggaran HAM sering dijadikan alasan untuk melakukan tekanan,
setidaknya menjadi hambatan dalam membangun hubungan diplomatik dan
perdagangan.
Praktik
perlindungan dan penegakan HAM di suatu negara dimasukan dalam instrumen untuk
memutuskan kerja sama antar negara, termasuk dalam ekonomi dan investasi,
bahkan menjasi syarat dalam keanggotaan sebuah blok multilateral.
Indonesia
sendiri dalam pertemuan Organisasi Kerjasama Negara-negara Islam (OKI) di
Jakarta menggunakan mekanisme perdagangan dalam memprotes pelanggaran HAM
Israel terhadap Palestina. Keputusan OKI antara lain menganjurkan memboikot
produk Israel, terutama yang bahan bakunya berasal dari wilayah pendudukan.
Oleh
karena itu, masalah pelanggaran HAM yang disebutkan terjadi di Indonesia, juga
harus dilihat dalam cakrawala yang lebih luas dalam tata pergaulan
internasional. Dan ini tidak bisa diabaikan, karena nyaris tidak akan bisa
suatu negara hidup dalam ketertutupan di tengah dinamika relasi internasional.
Menanggapi
adanya pernyataan dan tuntutan terkait pelanggaran HAM di Indonesia, kita tidak
bisa menghapuskannya hanya dengan meniru burung unta membenamkan kepala ke
pasir, seolah-olah tidak ada, atau hanya karena lembaga yang menyatakan tidak
‘’powerfull’’.
Yang
diperlukan sekarang justru kita perlu menata kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan yang lebih baik, yang mencegah terulangnya pelanggaran HAM. Dan
secara paralel dengan membangun negara yang menjunjung HAM, ada tindakan nyata
yang serius untuk memulihkan warga bangsa dari pelanggaran-pelanggaran HAM masa
lalu.
Hanya
hal itu yang akan membuat pihak manapun tidak mampu menyoroti Indonesia dalam
masalah HAM. Menyepelekan laporan dan pernyataan, tampaknya bukan obat untuk
membungkam hal itu, sebaliknya justru akan mendorong mereka bersuara lebih
keras.
Sumber : www.satuharapan.com
No comments:
Post a Comment