Jayapura,
MAJALAH SELANGKAH -- Dua tahun setelah Penentuan Pendapat Rakyat
(PEPERA) pada tahun 1969, jumlah orang asli Papua (OAP) terdata 96% atau
887.000 jiwa dari total 923.000. Pada tahun 1971, penduduk Non Papua
(Pendatang) hanya 36.000 (4%), tetapi setelah 40 tahun Papua berada dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu pada tahun 1971 jumlah Non
Papua sudah melonjak tajam mencapai 53% (1.956 juta), sedangkan OAP menurun
menjadi 47% (1.7 juta).
Bagaimana
perjalanan hidup OAP di tanah air sendiri setelah bergabung dengan NKRI?
Bagaimana jumlah populasi OAP dulu, kini dan esok? Hasil publikasi Dr. Jim
Elmslie dan Dr. Camelli Webb Gannon, dari University of Sydney's for Peace
& Conflict Studies Australia sangat mencengangkan.
Dari data tersebut kembali dinalisis oleh Pemerhati Fenomena Sosial di Tanah Papua, Ir. Yan Ukago, MT dengan menggunakan matematis grafis segresi non linier.
Perkembangan populasi OAP (dalam garis merah pada hasil riset) cenderung memprihatinkan dalam satu dasawarsa dan menurun setelah tahun 2005. Artinya, dari tahun 1971 sampai dengan 2004, jumlah OAP di Tanah Papua masih dominan (area merah pada hasil riset), tetapi setelah tahun itu kondisinya terbalik.
"Di mana kendali dominasi penduduk di Papua adalah justru orang Pendatang (area kuning). Kalau dibaca di gambar di atas ini garis warna merah adalah grafik pertumbuhan penduduk asli Papua, sedangkan warna kuning adalah gambaran pertumbuhan non Papua," ujar Yan di Jayapura, baru-baru ini.
Dijelaskan, tampak bahwa jumlah jiwa Pendatang semula tahun 1971 sedikit, namun populasinya meningkat dan berhasil mengejar jumlah OAP di tahun 2004 di mana asli Papua 1.65 juta dan Pendatang 1.65 juta (50%-50%).
"Setalah tahun 2005, kecenderungan perkembangan penduduk asli Papua jatuh bebas, sedangkan penduduk non Papua naik meningkat tajam terlebih di era Otsus Papua ini," terangnya.
Dari data tersebut kembali dinalisis oleh Pemerhati Fenomena Sosial di Tanah Papua, Ir. Yan Ukago, MT dengan menggunakan matematis grafis segresi non linier.
Perkembangan populasi OAP (dalam garis merah pada hasil riset) cenderung memprihatinkan dalam satu dasawarsa dan menurun setelah tahun 2005. Artinya, dari tahun 1971 sampai dengan 2004, jumlah OAP di Tanah Papua masih dominan (area merah pada hasil riset), tetapi setelah tahun itu kondisinya terbalik.
"Di mana kendali dominasi penduduk di Papua adalah justru orang Pendatang (area kuning). Kalau dibaca di gambar di atas ini garis warna merah adalah grafik pertumbuhan penduduk asli Papua, sedangkan warna kuning adalah gambaran pertumbuhan non Papua," ujar Yan di Jayapura, baru-baru ini.
Dijelaskan, tampak bahwa jumlah jiwa Pendatang semula tahun 1971 sedikit, namun populasinya meningkat dan berhasil mengejar jumlah OAP di tahun 2004 di mana asli Papua 1.65 juta dan Pendatang 1.65 juta (50%-50%).
"Setalah tahun 2005, kecenderungan perkembangan penduduk asli Papua jatuh bebas, sedangkan penduduk non Papua naik meningkat tajam terlebih di era Otsus Papua ini," terangnya.
Berdasarkan
analisis segresi tersebut (garis putus-putus), lanjut Yan, jika tidak dicegah,
diperkirakan pada tahun 2025, penduduk asli Papua menurun menjadi 1.5 juta jiwa
(36%) dan penduduk non Papua naik mencapai 2.7 juta jiwa (64%).
"Dan
pada kondisi terburuk bilamana tidak ada proteksi, jumlah penduduk Papua akan
musnah dari Tanah Papua tahun 2040. Artinya, di atas negeri Papua ini setelah
tahun 2040, ada penduduk mencapai 6 juta, tetapi bukan orang Asli Papua,
pemilik negeri ini," beber YAn Ukago yang juga alumnus S-2 Unpad Bandung
ini.
Oleh
karena itu, ia menegaskan, perlu ada upaya program nyata sungguh dari
Pemerintah Daerah Provinsi Papua, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota se-Tanah
Papua dan Pemerintah Republik Indonesia agar meningkatkan kualitas hidup OAP.
"Pemerintah
RI sebaiknya undang pencacah jiwa dari lembaga internasional yang independen
untuk mendata orang asli Papua di seluruh pelosok kampung dan lakukan
verifikasi data versi BPS dan KPU dari Indonesia. Data akurat dari lembaga
internasional ini untuk analisa tingkatan hidup orang Papua sekaligus NKRI bisa
counter data Dr. Jim tersebut," tutur Yan.
Hal
ini menurutnya sangat urgen karena data dari Universitas Sydney sangat
mengganggu kedaulatan NKRI di Papua. Bila dibiarkan, entah cepat atau lambat
tanah akan lelas dari NKRI, karena populasi Papua sudah masuk dalam kategori
'slow motion genocide'.
"Maksudnya,
sekalipun tidak ada pembuhuhan dan pelanggaran HAM seperti Paniai berdarah dan
lain-lain, kondisi ini menggambarkan Papua sedang berada dalam ambang kepunahan
atau genocide. Maka, saya memimjam istilah dari saudara Wonda dari Puncak, 'Ras Melanesia Sedang Tenggelam di Pangkuan Ibu Pertiwi'. Bila Papua sudah dalam sebutan 'slow motion genocide', sudah
pasti dukungan untuk Papua lepas. Tidak hanya datang dari MSG saja, tetapi juga
lambat laun akan datang dari negara-negara ASEAN dan juga Negara-negara
lain," tandasnya
Christo Tebai, mahasiswa Uncen Jayapura juga turut memprihatinkan atas kondisi ini. Maka diminta Pemprov Papua harus benar-benar ada pembuktian yang nyata kepada OAP.
"Saat
untuk bicara-bicara sudah lewat. Kini waktunya untuk membuktikan dengan
tindakan dan cara yang nyata kepada OAP. Kan Otsus itu hadir karena rakyat
minta merdeka, tetapi keperpihakannya belum nyata," kata Christo kepadamajalahselangkah.com di Abepura, Selasa (30/8/2015)
kemarin. (Abeth Abraham You/MS)
http://majalahselangkah.com/content/-diprediksi-2040-orang-asli-papua-akan-punah-di-tanah-air-sendiri
No comments:
Post a Comment