Latest News

Boudimi News

BOUDIMI NEWS

Tuesday, 13 October 2015

LEMAHNYA KECERDASAN MELAHIRKAN KEKERASAN DI PAPUA

Korban penembakan di Paniai, Senin 8 Desember 2014. Foto: Dok. MS.

Menyimak rangkaian tindakan kekerasan yang telah terjadi di Papua, kiranya perlu banting stir kekerasan dan berhenti sejenak
untuk menyimak dunia yang terus bergerak, berubah dan berkembang secara pesat. Sekolah-sekolah telah menghasilkan banyak orang pintar menjadi aktor dalam perkembangan dunia. Perkembangan teknologi meluncur sedemikian dahsyat seolah tak terbendung. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi salah satu bukti kemajuan dunia dan umat manusia. Perkembangan teknologi membantu untuk menemukan alat-alat kesehatan dan pertanian, sarana transportasi dan komunikasi multimedia, serta mesin-mesin industri yang canggih. 

Berbagai perkembangan yang dicapai itu membantu manusia untuk hidup lebih maju dan sejahtera. Namun demikian, sejarah menjadi saksi terjadinya berbagai peristiwa yang mengancam dan menghancurkan hidup manusia dan alam semesta. Berbagai perkembangan teknologi telah mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan, air dan udara serta kerusakan hutan dari tahun ke tahun semakin meningkat. 

Selain itu, di era perkembangan teknologi ini terjadi pula berbagai bentuk konflik dan kekerasan terus berlangsung dengan menggunakan cara-cara yang makin canggih. 

Perkembangan teknologi dan tingkat pendidikan manusia ternyata tidak berjalan seimbang dengan menurunnya kuantitas kekerasan dan kejahatan. Di tengah situasi inilah, Indonesia sedang membina hidup berbangsa seiring perkembangan dan perubahan dunia kini.

Di tengah perkembangan dan perubahan dunia masa kini, pemerintah dari masa ke masa masih bergulat tentang bagaimana menyelesaikan Konflik Papua yang masih berkepanjangan. Berbagai upaya dilakukan pemerintah, mulai dari penerapan berbagai produk hukum yang direkat dengan berbagai program pembangunan hingga upaya-upaya secara fisik oleh militer terhadap kelompok-kelompok bersenjata. Sekalipun demikian, toh, konflik masih terus berlanjut hingga kini. Kedua belah pihak menampilkan strategi dan gaya konflik yang berbeda. 

Di sini negara semestinya harus bersikap bijaksana yakni mampu memilih cara-cara yang damai dan cerdas untuk mewujudkan nilai-nilai hidup bersama. Hal itu akan mungkin apabila pemimpin negara beserta jajaran yang berkompeten mengedepankan akal budi dalam menangani dan menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul di Papua. 

Namun, kenyataan menunjukkan akan adanya banyak peristiwa dan tindakan yang bertentangan dengan akal sehat. Salah satu peristiwa yang bertentangan dengan akal sehat ialah kekerasan yang bukan merupakan pilihan bijaksana. Oleh karena itu, pemimpin yang cerdas seharusnya tidak memilih cara-cara kekerasan dan mengarahkan aparat keamanannya. 

Para pemimpin seharusnya tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hakikatnya sebagai makhluk berakal budi dan sosial agar tiap warga negara mampu mengembangkan gerakan hidup damai yang merupakan tanggungjawab bersama. Lantaran, cara untuk memperjuangkan damai ialah mengasah kecerdasan dan memperjuangkan nilai-nilai universal seperti kerja sama, saling menghormati, saling menolong, dialog dan bertindak adil yang mesti dihayati tiap orang termasuk aparat keamanan. 

Dengan menghindari sikap dan tindakan kekerasan itulah, tiap warga negara mempunyai kemerdekaan untuk memperjuangkan nilai-nilai universal tersebut. Jika demikian, apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh manusia? Yang semestinya tidak boleh dibuat oleh manusia sebagai makhluk berakal budi ialah kekerasan, karena pada hakikatnya kekerasan bukanlah tindakan manusiawi. 

Kekerasan dilakukan oleh manusia yang lemah, tidak rasional, malas dan tidak mau berjerih payah untuk memperjuangkan hidup bersama yang damai. Hal ini kiranya perlu disadari pemimpin serta aparatur negara ini, karena sebelum berhasil menghindari dan mengikis kekerasan, tidak mungkin tiap warga bisa menumbuhkan kesadaran dan tanggungjawab untuk mewujudkan hidup damai. 

Pidato pentingnya hidup aman dan damai belum tentu relevan dalam kehidupan masyarakat. Hidup aman dan damai hanyalah suatu harapan akibat situasi hidup masyarakat justru menunjukkan realitas yang lain, apalagi kekerasan aparat keamanan menjadi perbincangan yang hangat di kalangan masyarakat. 

Berita kekerasan aparat keamanan justru menarik simpati publik akibat kasus kekerasan terus menjadi aktual sekalipun tak satu kasus kekerasan pun diselesaikan secara tuntas melalui proses penyelesaian yang transparan. Kasus-kasus kekerasan menjadi semakin tumpang tindih tanpa menunjukkan upaya penyelesaian. Jikalau demikian, bagaimana caranya untuk menghindari dan mengikis kekerasan?

Salah satu alternatif untuk menghindari dan mengikis kekerasan ialah tidak memihak dan melibatkan diri pada sikap, pemikiran dan tindakan kekerasan. Upaya untuk menghindari kekerasan ialah kewajiban tiap orang sebagai makhluk berakal budi. 

Secara positif, jalan untuk melawan kekerasan ialah mengembangkan dan memperjuangkan perdamaian. Oleh sebab itu, hal yang amat sangat penting diperhatian dalam membina dan mengembangkan situasi damai di Papua ialah menjamin kebebasan berekspresi. Ruang bagi rakyat untuk mengemukakan pendapat secara bebas baik pribadi maupun kelompok semestinya tersedia dan dijamin tanpa rasa curiga yang berlebihan antar pihak. 

Rakyat harus diberi ruang untuk bebas berkumpul, bebas berdiskusi, bebas mengadakan seminar, bebas mengadakan pertemuan dan bebas untuk menuangkan ide secara tertulis. Kebebasan berekspresi ini bukan hanya sebatas di wilayah ruang privat, tetapi justru dijamin di wilayah ruang publik, termasuk kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum melalui demonstrasi damai. 

Ini merupakan Hak Berpendapat yang meliputi hak menyampaikan pandangan di muka umum, hak untuk mempengaruhi orang lain demi membangun opini publik dan bahkan hak untuk memiliki pandangan politik sendiri yang memang seringkali menimbulkan kontroversial antar pihak. 

Jikalau ruang publik terus dibungkam seperti yang terjadi akhir-akhir ini, maka tindakan aparat keamanan yang membatasi bahkan melarang para demonstran damai merupakan Kekerasan terhadap Hak Berpendapat. Sementara itu, pembatasan mengemukakan pendapat menunjukkan lumpuhnya fungsi opini publik sebagai mekanisme interaksi kekuasaan. 

Opini publik sebagai wahana bagi partisipasi rakyat banyak terperangkap di kalangan elit akibat mandulnya partisipasi aktif masyarakat luas.

Selain menjamin kebebasan berekspresi, negara pun harus menjamin kebebasan berorganisasi. Sebagai makhluk sosial, warga negara memiliki hak untuk membentuk organisasi berdasarkan kondisi sosial berupa kebutuhan untuk menggalang kesatuan, kondisi teknis berupa adanya pemimpin dan kemampuan berorganisasi serta kondisi politik berbentuk kebebasan terhadap kontrol penguasa atau pemerintah. 

Hak Berorganisasi tersebut, secara konstitusi telah dijamin dalam pasal 28 UUD 1945. Sekalipun demikian, memang selanjutnya negara berperan untuk mengontrol hak berorganisasi seperti pembentukan organisasi, keanggotaan dan aktivis organisasi, dan manfaat organisasi tersebut. Namun, kontrol penguasa terhadap organisasi rakyat tersebut berakibat pada pembatasan kebebasan menjadi aktivis, simpatisan ataupun pendukung lainnya dari organisasi yang bersangkutan. 

Di sini nampak jelas ketakutan penguasa bahwa kekuasaan dan kekuatannya agar terjaga tanpa ada ancaman dari kekuatan rakyat yang berupaya mempengaruhinya. Oleh sebab itu, penguasa merasa perlu dan berupaya mengontrol keanggotaan organisasi masyarakat dan politik. Padahal sesungguhnya, kekerasan politik berakar pada operasi pengawasan keanggotaan dari organisasi tersebut. 

Dengan demikian, persoalannya bukan pada organisasi, tetapi orang-orang yang terlibat dalam organisasi tersebut. Dalam hal ini, bisa kita simak berbagai kasus yang dialami oleh para pengurus organisasi yang ditangkap, dipukul, disiksa, dipenjara, bahkan ditembak mati. Misalnya kasus yang dialami oleh Tom Wanggai, Theys Hiyo Eluay, Kelly Kwalik, Mako Tabuni dan lain-lain serta ratusan orang yang dipenjara merupakan bagian dari realitas kekerasan politik di Papua. 

Kenyataan itu disebabkan oleh potensi dan kekuatan organisasi tersebut mampu menyaingi dan mempengaruhi kekuasaan pemerintah secara nyata, sehingga pengawasan dan reaksi penguasa terhadapnya menjadi begitu kuat dan keras hingga korban nyawapun dianggap tidak ada nilainya.

Entah sadar atau tidak, tindakan tegas dari penguasa tersebut justru melahirkan ancaman terhadap kemanusiaan. Manusia sebagai makhluk sosial diingkari hakikatnya, sebab kekerasan politik menimbulkan ketakutan untuk membentuk, memasuki dan memanfaatkan organisasi sebagai implikasi dari kebutuhan warga masyarakat untuk berkumpul dengan sesamanya. 

Demokrasi tak seutuhnya bagi rakyat akibat hilangnya kesempatan masyarakat untuk membela dan memperjuangkan kepentingannya karena kekuatiran dan ketakutan berorganisasi, apalagi mereka memiliki pengalaman kekerasan politik sebelumnya yang masih traumatis. Padahal, organisasi merupakan kebutuhan masyarakat untuk memperkuat diri. Namun, ancaman bagi keterlibatan masyarakat dalam organisasi itu justru akan membuat masyarakat mundur jauh ke belakang, akibatnya akan memperhambat mereka dalam proses modernisasi, sebab organisasi adalah bagian integral dari masyarakat modern.

Oleh karena itu, apabila negara melalui aparat keamanan terus menekan kebebasan berpendapat dan kebebasan berorganisasi, maka sikap dan tindakan itu justru menunjukkan wajah kekerasan politik. Sebaliknya, apabila negara menjamin kebebasan berpendapat dan kebebasan berorganisasi tanpa dibumbui kekerasan, maka sikap dan tindakan negara sedang menunjukkan kecerdasan dalam mengelolah konflik, karena dalam sebuah negara yang majemuk seperti Indonesia tentu muncul berbagai paham yang berbeda dan itu merupakan sesuatu yang wajar.

Kini persoalannya, bagaimana sikap negara melalui aparat keamanan dalam menyikapi aksi protes masyarakat sipil yang melakukan demonstrasi damai? Tentu, sebagai negara yang cerdas mesti hindari kekerasan yang dimotori oleh insting dan mengedepankan akal budi dalam upaya menyikapi aksi massa. 

Demikian pula, cara-cara persuasif mesti dikedepankan dalam menangani dan menyelesaikan berbagai persoalan yang kemungkinan muncul di tengah masyarakat. Di sini aparat keamanan mesti menyadari bahwa kekerasan bukan hanya melukai hati warga masyarakat, tetapi juga sekaligus memberi citra buruk kepada publik. 

Kekerasan telah mencederai bukan hanya demokrasi, tetapi juga wibawa negara di mata internasional akibat tindakan aparat yang terkesan emosional dan anarkis. Kebiadaban mesti diubah menjadi keadaban, karena sikap dan tindakan aparat yang nota bene manusia harus berupaya beradab, bukan biadab. Kiranya di sini dibutuhkan kecerdasan akal budi agar orang semakin beradab, karena tindakan kekerasan tak layak dilakukan oleh manusia selaku makhluk berakal budi. Semoga!

Oktovianus Marko Pekei adalah Mahasiswa Pascasarjana Perdamaian dan Resolusi Konflik di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Sumber : http://majalahselangkah.com/

No comments:

FOLLOW VIA FACEBOOK

HAK

"BAHWA SESUNGGUHNYA KEMERDEKAAN ITU IALAH HAK SEGALA BANGSA"

RECENT POST