Pax Romana Asia Pasific: Indonesia
Tidak Punya Komitment Untuk Hak Asasi Manusia Di Papua Barat
Setiap orang memiliki hak untuk
berorganisasi, menyampaikan pendapat dan bereskpresi sebagaimana di atur dalam
kovenan hak sipil dan politik dari Perserikatan Bangsa Bangsa
dan juga dijamin
dalam Undang Undang Republik Indonesia, tapi tidak diberlaku di tanah Papua.
Pada tanggal 8 Oktober 2015, sejumlah
mahasiswa dan pemuda yang tergabung dalam kelompok SKP HAM disiksa
oleh pihak Kepolisisan POLDA Papua ketika aparat Kepolisian melakukan
pembubaran paksa disaat massa aksi sedang melakukan aksi damai menuntuk proses
penyelesaian kasus Paniai Berdarah pada 8 Desember 2014 silam. Sekitar sembilan
belas orang telah disiksa dan ditahan oleh pihak Kepolisian Polda Papua. Aparat
Kepolisian Polda Papua beralasan bahwa massa aksi tidak memiliki ijin dari
pihak Kepolisian untuk aksi damai.
Menyikapi peristiwa pembubaran,
penangkapan, dan penyiksaan beberapa mahasiswa dan beberapa frater dari Ordo
Fransiskan dan OSA oleh aparat kepolisian Polda Papua, maka kami Pax Romana
Asia Pasific – sebagai Asosiasi persatuan profesional dan
intelektual Katolik international yang bertujuan untuk menciptaptakan dunia
yang damai, adil dan berkelanjutan, dan diakui oleh Takhta Suci (Vatikan) dan
aktif dalam jaringan masyarakat sipil internasional seperti Konferensi
Non-Governmental Organizations. Ini memiliki hubungan konsultatif dengan PBB–
mengutuk dengan tegas tindakan pihak kepotilisan. Kami menilai bahwa aparat
kepolisian telah melakukan pelanggaran terhadap hukum dan ham, khususnya hak
untuk bebas berbicara dan berpendapat di muka umum sesuai diatur dalam kovenan
hak-hak sipil politik dan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia,
secara khusus dalam UU No. 9 tahun 1998.
Adrian Pereira, Wakil Presiden Pax
Romana untuk wilayah Asia dan Pasifik menyetakan turut prihatian atas semakin
memburuknya praktek demokrasi di tanah Papua. “Kami melihat bahwa praktek
Demokrasi di Papua semakin memburuk. Tidak membaik, meskipun Indonesia kini
memiliki Presiden dari sipil,” tegas Adrian Pereira. Lebih lanjut, Adrian
Pereira menegaskan bahwa kini ada di tanah Papua ada begitu banyak orang
ditangkap dan dipenjarahkan tanpa proses hukum yang adil dan berpihak pada
kebenaran. “Indonesia telah keliruh, bahkan salah, dalam menyelesaikan konflik
di tanah Papua. pendekatan pola militer yang masih diterapkan oleh Pemerintah
Indonesia menjadi masalah besar untuk kehidupan berdemokrasi di tanah Papua.
Peristiwa pada tanggal 8 Oktober 2015 menjadi gambaran terbaru untuk kita semua
bahwa Pemerintah Indonesia tidak menjalankan prinsip demokrasi dan hak asasi
manusia di tanah Papua.”
Sementara menurut Anne Beatrice,
koordinator Program Pax Romana Asia – pasific untuk Papua menegaskan bahwa
sudah saatnya pihak Pemerintah Indonesia memberlakukan prinsip-prinsip
demokrasi dan ham di tanah Papua dengan membebaskan wartawan asing dan pekerja
hak asasi international untuk bekerja di tanah Papua tanpa melalui clearing
house yang dibentuk oleh Pemerintah. “Joko Widodo telah menyatakan untuk
membuka akses kepada wartawan asing untuk meliput di Papua, tapi mengapa masih
ada “clearning hause” untuk para wartawan dan pekerja ham. Ini tidak
dibenarkan”, tegas Anne. Lebih lanjut, “Kami juga mendapat kabar bahwa hari
ini, 9 Oktober 2015, seorang aktivis KNPB atas nama Agus Kossay telah ditahan oleh
aparat keamanan terkait dengan aktivitasnya mendampingi wartawan asing asasl
Prancis ketika melakukan liputan di Okhika, Pegunungan Bintang, Papua”,
tegasnya.
Oleh karena itu, Pax Romana Asia
Pasific menilai bahwa Pemerintah Indonesia tidak memiliki komitmen untuk
melindungi, mempromosikan dan memulihkan hak asasi orang asli Papua.
http://suarawiyaimana.blogspot.co.id/2015/10/pax-romana-asia-pasific-indonesia-tidak.html
No comments:
Post a Comment