Pertumpahan
darah di tanah Papua Barat bukan merupakan sesuatu hal yang mengherankan bagi
masyarakat Papua Barat tetapi itu adalah hal yang biasa bagi mereka karena
peristiwa seperti ini telah membentuk sebuah sirkulasi yang berputar terus
sepanjang waktu. Sirkulasi penderitaan akibat pertumpahan darah yang terbentuk
ini dapat terbukti sejak Papua Barat dianeksasikan ke dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1963 hingga kini. Pertumpahan darah yang
dilakukan adalah dalam bentuk operasi militer
dari tahun ke tahun yang digencarkan TNI/POLRI di tanah Papua Barat yang
kemudian Papua Barat kini dikenal dengan Daerah Operasi Militer (DOM).
Praktek-praktek
operasi yang dilakukan oleh TNI dan POLRI dari tahun ke tahun seperti Operasi
Sadar (1965-1967), Operasi Bratayhuda (1967), Operasi Wibawa (1969), Operasi
Militer di Jayawijaya (1977), Operasi I dan II (1981), Operasi Tumpas (983-1984),
Operasi Sapuh Bersih III (1985), Operasi Militer di Mapenduma (1996), dan
operasi-operasi lainnya yang tejadi di tanah Papua Barat.
Kendati
demikian negara Indonesia telah memberikan angin segar kepada seluruh
masyarakat nusantara di Indonesia ketika bergantinya Era Orde Lama dan Orde
Baru pada tahun 1998 dan menjemput sebuah Era Baru yaitu Era Reformasi. Era Reformasi
adalah era di mana peluang untuk bebas ekspresi terbuka lebar bagi masyarakat
nusantara. Namun demikian Indonesia hanya berubah istilah “Era” sementara pola tindakan
Militer tidak pernah berubah dari era satu ke era lainnya. Tindakan kekerasaan
militer yang sama dalam Era Reformasi dan Otonomi Khusus dapat terlihat seperti
Peristiwa Pelanggaran HAM di Wassior (2001), Penculikan dan Pembunuhan Ketua
PDP Theys Hiyo Eluay (2001), Wamena Berdarah (2003), Puncak Jaya Berdarah (2004),
Penembahkan Moses Dou di Waghete (2004), Pembunuhan Opinus Tabuni di Wamena (2009),
Pembunuhan Melkias Agapa di Nabire (2010), Pembunuhan Kelly Kwalik di Timika (2010),
Pembunuhan Dominikus Auwe Alwisius Waine di Dogiyai (2011), Penikaman terhadap
Derek Adii oleh Anggota TNI Kodim 1705 di Nabire dari Pelabuhan Samabusa (14 Mei
2011) dan operasi-operasi maupun pembunuhan-pembunuhan
lainnya terhadap masyarakat Papua Barat oleh TNI dan POLRI.
Sebuah
tindakan yang dilakukan oleh TNI dan POLRI terhadap masyarakat Papua Barat
selalu saja terjadi melalui Operasi Militer. Pertumpahan yang terus terjadi di
tanah Papua Barat adalah usaha mencapai terselubung Negara Indonesia terhadap Bangsa
Papua Barat yaitu Pemusnahan Etnis Malanesia secara perlahan-lahan (Slow Motion Genocide of Melanesian).
Di
Negara Indonesia yang katanya menjunjung tinggi Pancasila dan HAM serta Negara
Demokrasi terbesar ketiga di dunia, namun kenyataan yang terjadi adalah Manusia
Papua Barat di anggap sebagai manusia kelas 2 atau bahkan Harkat dan
Martabatnya diinjak-injak selayaknya seperti binatang dan bahkan dianggap
sebagai Boneka yang bisa dipermaikan seenaknya.
Peristiwa-peristiwa
yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) terus menerus terjadi di tanah Papua
Barat di depan Mata Publik. Jeritan dan tanggisan rakyat Papua Barat terus
memenuhi alam Papua Barat, menambah luka batin pada masyarakat Papua Barat.
Kapankah
Negara Indonesia berhenti dan bertobat atas tingkahlakumu yang paling jahat di
depan Mata Publik dan TUHAN. Atas perbuatanmu yang jahat terhadap masyarakatku Papua
Barat TUHAN sendiri yang akan membalas pahalamu Negara Indonesia.
Sumber : Dogiyai Berdarah
No comments:
Post a Comment