Dalam
catatan sebelumnya, saya katakan bahwa menurut pengamatan saya, Gereja kita dan
pemerintah seperti menutup mata terhadap kenyataan Papua yang penuh kekerasan.
Ini beda dengan kultur Papua
(yang saya sebutkan sebelumnya) dan Kristus.
Dalam pandangan Kristus, para murid-Nya (Matius 10:16) dikirim ke dunia di
tengah-tengah serigala.
Artinya
penggambaran terhadap realita begitu itu apa adanya. Tidak ditutup-tutupi.
Bahkan cenderung keras, seperti dikatakan Matius, Gereja dikirim ke
tengah-tengah serigala. Ini sama dengan para ahli ilmu sosial yang
menggambarkan manusia sebagai serigala bagi sesamanya.
Dan
menurut saya, Papua dalam 50 tahun terakhir menghadapi kekerasan seperti itu
dalam segala bidang. Oleh karena itu, mengikuti tradisi para penulis kitab
suci, saya sering menggunakan istilah Papua sebagai 'situs kekerasan', 'situs
penindasan', atau 'situs ratapan anak negeri tiada akhir'.
Ini
penting karena (a) dengan begitu umat bisa mengambil tanggung jawab menyikapi
kenyataan penuh kekerasan itu, sehingga tidak terlena oleh pesan-pesan gereja
dan pemerintah yang menyampaikan harapan-harapan sesaat kepada umat yang hidup
dalam Papua yang telah bertahun-tahunt menjadi 'situs pertumpahan darah'; (b)
begitu juga bagi gereja Papua yang barangkali segan menelanjangi kenyataan
penuh kekerasan apa adanya lantaran terjebak obsesi gereja itu sendiri untuk
menyebarkan kabar gembira tetapi dengan konsekuensi menutup mata terhadap
kenyataan penuh kekerasan itu; dan (c) ini juga bisa demikian karena
gereja juga ikut terpengaruh (terkooptasi) bahasa-bahasa propaganda pembangunan
dari pemerintah.
Tetapi
apa sebenarnya akar persoalan dari konflik atau kekerasan yang terus terjadi di
Tanah Papua ini?
Menurut
saya, akar persoalan yang mendasari konflik dan kekerasan di Tanah Papua itu
tidak lain dari sejarah relasi dua bangsa yang sudah berlangsung berabad-abad
jauh sebelum Indonesia menduduki Tanah Papua awal tahun 1960-an.
Ini berarti beberap hal. Pertama, masalah sejarah relasi dua bangsa pra-1960-an tidak setara Indonesia yang mengklaim diri 'beradab' dan bahwa Papua sudah berabad-abad berkontak dengan Indonesia sehingga dengan klaim itu dia berhak untuk menduduki atau menguasai Papua.
Ini berarti beberap hal. Pertama, masalah sejarah relasi dua bangsa pra-1960-an tidak setara Indonesia yang mengklaim diri 'beradab' dan bahwa Papua sudah berabad-abad berkontak dengan Indonesia sehingga dengan klaim itu dia berhak untuk menduduki atau menguasai Papua.
Sebaliknya,
Papua yang menganggap kontak Indonesia dengan Papua sebagai sejarah perampokan
dan perbudakan yang dikenal sebagai slaven raid dan hongietocht. Dalam konteks
itu Papua adalah korban dari perampokkan dan perbudakan.
Kedua,
setelah Indonesia menduduki Papua ia mulai menyebar propaganda. Pihaknya
berjanji akan mengangkat orang Papua supaya bisa sejajar dengan suku-suku
lainnya di Indonesia. Sementara Papua menertawakan janji-janji dan propaganda
itu dengan merujuk kepada perilaku pejabat Indonesia di Papua tahun 1960-an
yang merampok dan mengangkut semua barang-barang peninggalan Belanda ke Jawa
dengan kapal-kapal sambil meneror, mengejar, dan membunuh masyarakat yang
dicurigai sebagai kaki tangan Belanda.
Ketiga, pemerintah Indonesia mengeluarkan perintah untuk membakar buku-buku dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan sejarah dan kebudayaan Papua baik dalam bahasa melayu maupun bahasa Belanda.
Keempat, memberlakukan karantina politik dengan memaksa penandatanganan perjanjian Kota Baru (sekarang Jayapura) tentang pelarangan partai-partai politik yang sedang berjalan saat itu dan menerima agenda politik Indonesia: PEPERA tidak perlu diadakan karena Papua sudah merdeka tahun 1945 bersama dengan seluruh rakyat Indonesia.
Kelima, sejak September 1966 pemerintah Indonesia mengeluarkan dokumen-dokumen rahasia menuduh gereja Papua mendukung separatisme.
Keenam, menggunakan paramedis untuk menyuntik peserta PEPERA yang dicurigai akan menyuarakan aspirasi masyarakat untuk menolak bergabung dengan Indonesia.
Ketiga, pemerintah Indonesia mengeluarkan perintah untuk membakar buku-buku dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan sejarah dan kebudayaan Papua baik dalam bahasa melayu maupun bahasa Belanda.
Keempat, memberlakukan karantina politik dengan memaksa penandatanganan perjanjian Kota Baru (sekarang Jayapura) tentang pelarangan partai-partai politik yang sedang berjalan saat itu dan menerima agenda politik Indonesia: PEPERA tidak perlu diadakan karena Papua sudah merdeka tahun 1945 bersama dengan seluruh rakyat Indonesia.
Kelima, sejak September 1966 pemerintah Indonesia mengeluarkan dokumen-dokumen rahasia menuduh gereja Papua mendukung separatisme.
Keenam, menggunakan paramedis untuk menyuntik peserta PEPERA yang dicurigai akan menyuarakan aspirasi masyarakat untuk menolak bergabung dengan Indonesia.
Ketujuh,
membentuk dan membiayai kelompok-kelompok yang melaksanakan terror dan
mempengaruhi masyarakat untuk mendukung agenda politik Indonesia, contohnya
Barisan Merah Putih.
Kedelapan,
kebijakkan pemerintah Indonesia tidak hanya menghilangkan atau menghapus
separatisme tetapi juga menyuburkan separatisme dengan menyiapkan Undang-Undang
Makar yang dengan mudah menjerat para aktivis.
Kesembilan, kesemua langkah di atas dilakukan dalam satu kerangka pembangunan yang ditetapkan Jakarta yang disebut Joko Affandi sebagai kebijakan 'bias pendatang'. Dalam keranga demikian Papua dianggap tidak ada, kalaupun ada ia tidak diberi pilihan lain selain menerima atau melawan. Alias Papua dipaksa untuk menerima kebijakan asimilasi total. Tidak ada kemauan politik untuk mempraktikkan semboyan Bhineka Tunggal Ika di Tanah Papua.
Belakangan, kebijakan ini diiringi dengan apa yang disebut Wibawanto Nugroho 'degenerative public policy' yang mencerminkan 'degenerative politik Jakarta terhadap Papua'. Artinya bahwa Jakarta secara sistematis dan terencana merancang kebijakan untuk terus memperburuk kondisi sosial, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, dan kesehatan. Ini yang sering kali disebut para pengamat kekerasan ideologis atau simbolis.
Kesembilan, kesemua langkah di atas dilakukan dalam satu kerangka pembangunan yang ditetapkan Jakarta yang disebut Joko Affandi sebagai kebijakan 'bias pendatang'. Dalam keranga demikian Papua dianggap tidak ada, kalaupun ada ia tidak diberi pilihan lain selain menerima atau melawan. Alias Papua dipaksa untuk menerima kebijakan asimilasi total. Tidak ada kemauan politik untuk mempraktikkan semboyan Bhineka Tunggal Ika di Tanah Papua.
Belakangan, kebijakan ini diiringi dengan apa yang disebut Wibawanto Nugroho 'degenerative public policy' yang mencerminkan 'degenerative politik Jakarta terhadap Papua'. Artinya bahwa Jakarta secara sistematis dan terencana merancang kebijakan untuk terus memperburuk kondisi sosial, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, dan kesehatan. Ini yang sering kali disebut para pengamat kekerasan ideologis atau simbolis.
Menurut
saya akar persoalan Papua itu ada di situ. Ini sejumlah hal terkait kultur dan
ideologi Jakarta yang mendasari kekerasan dalam segala bidang di Tanah Papua 50
tahun terakhir. Bagaimana kita melihat ini sebagai gereja?
Menurut saya, ini demonik yang tidak memberi ruang bagi keberlangsungan kehidupan seperti yang dimaksudkan Tuhan. Dan ini yang menurut saya disebutkan Rasul Paulus dalam Efesus 6: 10-12.
Menurut saya, ini demonik yang tidak memberi ruang bagi keberlangsungan kehidupan seperti yang dimaksudkan Tuhan. Dan ini yang menurut saya disebutkan Rasul Paulus dalam Efesus 6: 10-12.
Lalu
bagaimana kita hadapi permasalah ini?
Pertama,
saya pikir kita selalu ada pengharapan sebagaimana yang kita temukan dalam (a)
ajaran Alkitab; (b) kultur Papua; (c) dalam sejarah gereja; dan (d) dalam diri
kita masing-masing. Tentu harapan seperti itu harus disertai kerja keras dan
tanggung jawab kita; baik sebagai pribadi maupun sebagai organisasi.
Kedua, selama ini menurut saya kita di Papua terus melihat ke belakang dan menyalahkan masa lalu; kita seperti terpenjara oleh masa lalu. Saya dalam kesempatan ini mengajak kita untuk melihat ke belakang tapi juga membuka mata terhadap realita sekarang dan melihat ke depan; lakukan upaya-upaya untuk mewujudkan harapan-harapan generasi lalu yang belum diwujudkan.
Ketiga, ini berarti kita membaca kembali masa lalu dalam rangka membangun masa depan dengan membaca perkembangan Papua sekarang sebagai tanda-tanda zaman (Matius 16:2-3) untuk membangun masa depan.
Lebih konkrit lagi, saya ajak kita semua bisa pikirkan tim kecil yang bisa mencari kemungkinan untuk mempertimbangkan langkah-langkah ini baik di Belanda maupun di Tanah Papua, melibatkan semua pihak yang prihatin terhadap Papua pada masa lalu dan sekarang ini.
Kedua, selama ini menurut saya kita di Papua terus melihat ke belakang dan menyalahkan masa lalu; kita seperti terpenjara oleh masa lalu. Saya dalam kesempatan ini mengajak kita untuk melihat ke belakang tapi juga membuka mata terhadap realita sekarang dan melihat ke depan; lakukan upaya-upaya untuk mewujudkan harapan-harapan generasi lalu yang belum diwujudkan.
Ketiga, ini berarti kita membaca kembali masa lalu dalam rangka membangun masa depan dengan membaca perkembangan Papua sekarang sebagai tanda-tanda zaman (Matius 16:2-3) untuk membangun masa depan.
Lebih konkrit lagi, saya ajak kita semua bisa pikirkan tim kecil yang bisa mencari kemungkinan untuk mempertimbangkan langkah-langkah ini baik di Belanda maupun di Tanah Papua, melibatkan semua pihak yang prihatin terhadap Papua pada masa lalu dan sekarang ini.
Pendeta Dr. Benny Giay adalah Ketua Sinode Gereja Kingmi
di Tanah Papua.
Sumber : http://majalahselangkah.com/content/-gereja-papua-dalam-sejarah-papua-menghadapi-tsunami-badai-kekerasan-ideologis
No comments:
Post a Comment