Sebagian pembicara yang hadir di acara Papua Lawyers Club (PLC) Rabu, (10/8/2016) – JUBI/Zely Ariane
BOUDIMI
NEWS – “Pertarungan”
Indonesia dan ULMWP “berlanjut” di Papua Lawyer Club (PLC), Rabu malam
(10/8/2016), dalam satu dialog yang disiarkan TV Swasta, di Kota Jayapura,
Papua. Setidaknya itulah yang coba disajikan oleh Jaringan Damai Papua (JDP)
dalam dialog yang bertema Pertarungan Pemerintah Indonesia versus United
Liberation Movement West Papua (ULMWP).
Hadir dalam acara
tersebut wakil-wakil dari masing-masing pihak yang “bertarung”. Wakil ULMWP, seperti
Victor Yeimo dan Edison Waromi, juga tokoh gereja Pdt. Sofyan Yoman, serta
pemerintah Indonesia, diwakili oleh Asisten Deputi Bidang Otonomi Khusus
Menkopolhukam, Brigjen Herwin Suparjo. Wakil LIPI, Adriana Elizabeth dan JDP,
Septer Manufandu, berperan sebagai jembatan dari kedua belah pihak.
Tetapi jembatan itu
tampaknya tidak sekokoh yang diharapkan dalam forum tersebut. Acara yang
digagas JDP dalam siaran tersebut terasa tidak berhasil menjembatani perbedaan
titik dari kedua belah pihak. ULMWP berjuang untuk Penentuan Nasib Sendiri,
sedangkan pemerintah Indonesia bergerak dalam Lingkup Pembangunan dan Otonomi
Khusus.
Oleh sebab itulah,
menurut Sofyan Yoman, masalah Papua sejak awal sudah menjadi isu internasional,
dalam kerangka itulah Melanesian Spearhead Group(MSG) bisa berperan. Begitupula
pendapat Victor Yeimo bahwa perjuangan di MSG lahir karena negara-negara
Melanesia ingin mengembalikan Papua Barat ke dalam persaudaraan Ujung Tombak
Melanesia. ”Tanpa Papua Barat Melanesia tidak lengkap,”katanya.
MSG sejak awal
dibentuk untuk membawa misi anti kolonialisme, kata Yeimo. Lebih lanjut
dijelaskan misi tersebut ternyata tidak dipahami oleh pemerintah Indonesia yang
lebih mengutamakan diplomasi ekonomi. Sebaliknya justru membendung ULMWP dengan
membentuk Melanesia Indonesia (Melindo) berdasarkan jumlah penduduk 11 juta
orang Melanesia di Indonesia. Padahal, kata dia mengutip pernyataan pemimpin
MSG, bahwa tiga Provinsi Melindo (NTT, Maluku dan Maluku Utara) termasuk dalam
Polynesia. “Jadi Indonesia salah strategi,” katanya.
Pdt Sofyan Yoman
mengatakan, masalah Papua sejak lama sudah ada pemerintah asing yang terlibat.
“Saat masalah Papua Barat ke PBB telah melibatkan pemerintah Amerika Serikat,
Belanda dan Indonesia soal Papua. Jadi keterlibatan asing bukan masalah baru,
termasuk ketika Ottow dan Geisler ke Pulau Mansinam, 5 Februari 1855.”
Jadi, kata
penulis buku Pepera di Papua yang tidak demokratis, menilai kalau
keterlibatan asing di Papua sebenarnya bukan sesuatu yang baru di Tanah Papua.
Lebih lanjut Yoman
membandingkan demokrasi di Scotlandia Inggris dan di Papua, Indonesia. “Saat
orang Scotlandia melakukan referendum dan mengibarkan bendera mereka, polisi di
Inggris hanya mengawal dan tidak ada perintah untuk menangkap,” katanya.
Berbeda dengan di Indonesia, khususnya di Papua, saat warga berdemo soal
hak-hak mereka sudah dihadang petugas keamanan. “Ini demokrasi model apa di
Indonesia,” katanya.
Sementara itu
Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) Pater Dr Neles Tebay dalam artikelnya
berjudul Pertarungan Indonesia Versus Papua yang dimuat Koran Tempo menyebutkan
bahwa masalah Papua kini bukan lagi urusan domestik Indonesia, melainkan telah
berkembang menjadi persoalan Melanesia.
Menurut dia
akibatnya, pemerintah harus bekerja keras meyakinkan para pemimpin
negara-negara Melanesia. Untuk sementara, pemerintah telah berhasil mendapatkan
dukungan dari pemerintah Papua Nugini dan Fiji berkat bantuan dan kerja sama
ekonomi.
“Kita belum tahu,
berapa lama kedua negara itu akan mendukung Indonesia. Yang jelas, Indonesia
dan ULMWP akan bertarung lagi pada pertemuan MSG yang akan diadakan pada
September nanti,”tulis Neles Tebay.
Mantan Menteri
Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan, memandang
penundaan ini sebagai suatu kemenangan diplomasi Indonesia dan kekalahan bagi
ULMWP. Meski demikian, tulis Neles Tebay, kemenangan ini bukan merupakan akhir
dari pertarungan antara pemerintah dan ULMWP. Ini hanyalah kemenangan satu
babak.” Masih ada pertarungan lanjutan yang perlu diantisipasi pemerintah,”
tulis Neles.
ULMWP juga membawa
isu Papua ke negara-negara Pasifik lainnya, sehingga para pemimpin dari 26
negara Pasifik mengagendakan dan membahas masalah Papua dalam pertemuan Pasifik
Island Forum (PIF) 2015 di Port Moresby, Papua Nugini. Dalam pertemuan itu,
masalah Papua sudah ditetapkan sebagai salah satu agenda utama yang akan
dibahas para kepala negara di Pasifik.
Dengan demikian,
Indonesia dan ULMWP akan bertarung lagi pada pertemuan PIF 2016. Masih banyak
babak pertarungan yang akan dihadapi pemerintah karena ULMWP akan terus membawa
masalah Papua ke berbagai negara dan forum internasional. Apabila tidak dicegah
secara tepat, bukan tidak mungkin masalah Papua dapat berkembang menjadi isu
internasional dan Indonesia akan diadili di berbagai forum regional dan
internasional.
Pemerintah tidak
perlu terpancing, apalagi diseret ke berbagai forum internasional. Selain
melancarkan diplomasi ofensif, pemerintah justru perlu memfokuskan perhatian
pada penanganan masalah-masalah yang menyebabkan konflik pemerintah dengan
Papua selama lebih dari lima dekade.
Penelitian Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (2008) telah mengidentifikasi empat masalah utama
yang melatarbelakangi konflik Papua. Keempat masalah tersebut adalah (1)
kegagalan pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan
infrastruktur; (2) diskriminasi dan marginalisasi terhadap orang asli Papua;
(3) kekerasan negara terhadap orang Papua yang mengakibatkan terjadinya
pelanggaran hak-hak asasi manusia; serta (4) perbedaan tafsiran mengenai
sejarah integrasi Papua ke dalam Republik Indonesia.
Keempat masalah itu
sudah jelas sejak Road Map Papua dibuat tahun 2009. Namun, seperti kata Septer
Manufandu, pemerintah sejak awal tidak menggubrisnya. Nasionalisme Papua tidak
mau diakui. Akibatnya persoalan menjadi tambah sulit.
Sekarang, seperti
kata Septer Manufandu, rakyat Papua dengan bijaksana sudah menunjuk wakil
mereka yang harus diajak bicara di Papua, mereka sudah jelas dan sudah semakin
kuat, yaitu ULMWP. Pemerintah tidak bisa menganggapnya tidak ada.
Sumber : http://tabloidjubi.com/
No comments:
Post a Comment