Di Ufuk Timur
Negeri tanpa senja, keanggunan eloknya alam terpampang rapih bagai sorga di
dunia kayangan…
Tetesan air menetes
lembut di dedaunan tanpa henti, memberikan kelegahan bagi mereka yang hidup
tanpa mengenal senja…
Papua…, Papua…,
itulah Negeri-ku, Negeri-mu dan Negeri Generasi Bangsa Kami…
Negeri yang hanya mengalirkan emas dan madu tuk senyum dan tawa Bangsa kami…
Itulah Sorga kami, Sorga tanpa jajahan dan perampokan serta kemunafikan…
Gemuruh ombak di
bibir pantai yang elok, hanya turut memerdukan tiap alunan syair syukur atas
kemurahan ILAHI yang kami kenal sebagai Sang KHALIK, Leluhur tanpa pusara…
Saat dunia harus
berlalu, tetesan darah mengalir di Negeri kami yang sebelumnya indah dan elok…
Jeritan tangisan
darah mengalir makin kencang dan deras, membuat kepanikan dan kegementaran,
mengguncang jiwa tiap insan Bangsa kami…
Jutaan orang dan
Negara merebut dan membelenggu hak Bangsa kami dengan nafsu dan bejat duniawi…
Rentetan tembakan
menembusi tiap dedaunan, sampai menembus jantung manusia tak berdosa…
Gugur…, gugur…,
gugur satu demi satu tanpa sebab, tanpa dosa…
Sehelai demi helai punah, sampai nyawa pun, seakan seharga helai rupiah dan harus lenyap dari warisan moyang ku dan moyang mu.
Inikah penjajah,
yang seenaknya datang tanpa diundang untuk merompok warisan kami…?
Inikah perompok,
yang seenaknya memenjarah dan membunuh kebangsaan kami, hanya tuk memenjarah
warisan tanah moyang kami…?
Saat harus
ditengok, Mahluk lain dengan wajah dan fisik beda, dengan aromah nafsu duniawi,
datang dengan senjata dan kekuatan penuh tuk merampas kebebasan dan tanah
warisan kami…
Parasnya dibuat
elok seakan malaikat, namun hatinya lebih tajam dari duri, saat menembus luka
yang deritanya sepanjang abad, musang berbulu domba…
Sorga ku dan surga
mu dibuat Neraka tanpa udara…
Alam dihancurkan,
hutan dibabat, burung-burung harus panik tuk menuju kepunahan…
Cenderawasih harus senyap, tanpa mengeluarkan ekspresi tarian dan siulan kemerdekan…
Saat ratusan ribu
rakyat tak berdosa harus lenyap di ujung moncong senjata penjajah, Kau dengan
gagah berani mengatakan, “Lawan Penjajah…!”
Puluhan tahun di
hutan, walau nyamuk, hujan dan badai menghampiri mu…
Semuanya menjadi sahabat sejati mu, karena semangat dan patriotisme mu tanpa batas tuk Pembebasan Bangsa kami…
Hari ini, di saat
syair ini harus ku bingkai, jejarian ku tak berdaya tuk menulis kata demi kata…
Genangan air mata, hanya menemani ku, membuat kekakuan untuk harus bersyair, walau lelah rasa hati ini…
Kau begitu cepat
pergi ke rumah ILAHI, tanpa pamit pada ku dan generasi Bangsa kami…
Kau begitu cepat pergi tanpa pamit pada alam dan dedaunan serta burung-burung yang slalu menemani mu dalam perjanalan hidup mu, dan masih menunggu bayang mu sata terlintas…
Kau mengajarkan
banyak hal, dan komitmen mu tuk berjuang demi Bangsa yang membutuhkan
pembebasan dan secercah harapan, dari initimidasi dan jajahan yang panjang…
Hati ini tak mampu
tuk merangkul kesakitan, gelisa dan tangis…
Hati ini ingin
meneriakan kepedihan atas kepergian mu, wahai pahlawan Revolusioner kami…
Kau Tokoh Bangsa
Kami, Tuan, Bapak, Orang Tua, Pak R. Uria J, kini kau pergi selamanya ke rumah
TUHAN kami, TUHAN yang sudah mengijinkan mu tuk hidup di dunia ini, TUHAN yang
sudah mengijinkan ku tuk harus hidup, TUHAN yang mengijinkan Generasi mu tuk
harus melanjutkan hidup, TUHAN yang juga sudah menciptakan indahnya Negeri ku
dan Negeri mu, tuk kemurahan-NYA, walau sedang dihancurkan oleh Penjajah…
Biarlah alunan
syairku dan syair generasi-mu menemani kepergian mu menuju rumah TUHAN kami…
Segala masmur anak
Negeri menemani perjalanan mu menuju dunia masa depan Bangsa Papua dan masa
depan orang beriman, di kerajaan ILAHI kami…
Selamat jalan Tokoh
Revolusioner Sejati kami.
Penyair: Anak-Mu, Marthen Goo (PIN: 5A72EFEE)
Di bawah Kolong
Langit tanpa mentari
Sumber : Fb #Marthen Ramelau Somu Goo
No comments:
Post a Comment