Pers
rilis Nomor 1898/SK-Rilis/IX/2016 Pada tanggal 26 September 2016 berlangsung
Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke 71 di New York.
Kemudian
pelanggaran berlanjut pada dikeluarkannya Maklumat oleh Kapolda Papua tanggal 1
Juli 2016 yang pada intinya melakukan pembatasan kebebasan berekspresi melalui
penjatuhan stigma sparatis atau pemberontak kepada masyarakat yang melakukan
unjuk rasa yang berdampak pada pembubaran dan penangkapan setiap unjuk rasa,
terhitung 13 Agustus sampai 16 September terjadi penangkapan terhadap 112
Demonstran yang sedang melakukan aksi damai di berbagai tempat di Papua.
Dalam
kesempatan ini Kepulauan Solomon, Vanuatu, Nauru, Kepulauan Mashal, Tuvalu, dan
Tonga adalah negara-negara yang menyerukan Perseikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
untuk menuntaskan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dialami warga Papua dalam
kurun 50 Tahun terakhir.
Indonesia
melalui perwakilannya membantah pernyataan ke-enam negara tersebut. Dalam
kesempatan itu perwakilan Indonesia Nara Masista menyampaikan terkait
masalah-masalah di Papua, Provinsi Papua Barat di Indonesia, disampaikan Juga
bahwa permasalahan di Papua adalah permasalahan Pemberontakan yang bertujuan
mengganggu ketertiban umum dan sikap ke-enam negara tersebut telah
mengintervensi kedaulatan Indonesia. Leih lanjut Indonesia menyampaikan bahwa
Komitmen Hak Asasi Manusia di Indonesia tidak perlu dipertanyakan lagi.
Baca
juga: Advokasi Internasional Mendesak Indonesia Investigasi Pelanggaran HAM di
Papua LP3BH: Desakan Pemimpin Pasifik terkait Papua di PBB Punya Landasan Kuat
Dari
keterangan yang disampakan perwakilan Indonesia pada Sidang Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa Ke 71 tersebut sangatlah bertolak belakang dengan realita yang
ditemukan di Papua.
Menurut
data yang dihimpun oleh LBH Jakarta bersama Jaringan mencatat berbagai
pelanggaran hak asasi manusia di papua dari penangkapan, pembunuhan dan
pembubaran aksi. Terhitung sejak April 2016 hingga 16 September 2016, total
telah terjadi penangkapan terhadap 2.282 orang Papua yan melakukan aksi damai.
berbagai penangkapan terus terjadi. Dalam kurun waktu 28 Mei hingga 27 Juli
2016, total terdapat 1.889 demonstran yang ditangkap.
Sedangkan terhitung
hingga 15 Agustus 2016, terdapat 77 demonstran yang ditangkap. Penangkapan
tersebut dilakukan di beberapa tempat berbeda di Papua dan mayoritas disertai
dengan intimidasi dan tindak kekerasan. Dari data yang dihimpun sejak tahun
2012 sampai Juni 2016 terhimpun jumlah penangkapan mencapai 4.198 orang Papua.
Jumlah penangkapan masyarakat Papua saat
melakukan aksi damai terhitung tahun 2012 sampai Juni 2016
Kemudian
hal ini diperparah dengan pembunuhan sejumlah remaja, yang dalam kurun waktu
Maret 2015 sampai dengan September 2016 telah terjadi pembunuhan terhadap 7
(tujuh) Remaja di Papua.
Data
penangkapan terhadap orang papua saat melakukan aksi damai terhitung 13 Agustus
– 16 September 2016
Disisi
lain, penunjukan Mayjen Hartomo menjadi Kepala Badan Intelijen Strategis
(Kabais) dianggap sebagai wujud impunitas militer Indonesia, juga dianggap
sebagai tanda tidak ada keadilan terhadap orang Papua. Hartomo diangkat menjadi
Kepala BAIS berdasarkan Surat Keputusan Panglima TNI No. Kep/751/IX/2015
tanggal 16 September 2016, bersamaan dengan 34 rotasi jabatan lainnya di tubuh
TNI. Padahal sebelumnya Hartomo dijatuhi hukuman 3 tahun 6 bulan penjara karena
terlibat pembunuhan Theys aktivis Papua pada tahun 2003.
Bahwa
segala benuk penangkapan, intimidasi dan pembunuhan yang dilakukan di tanah
Papua adalah bentuk pelanggaran atas hak sipil dan politik masyrakat yang
dijamin oleh Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik atas hak kebebasan berekspresi
dalam penghadangan, penangkapan dan upaya pembubaran aksi yang dilakukan oleh
aparat keamanan.
Baca ini: Aktivis HAM Apresiasi 7 Negara
Pasifik Bawa Isu Papua ke PBB Dari serangkain bentuk penangkapan dan kekerasan
terhadap warga Papua, Indonesia sama sekali tidak hadir dan justru menganggap
bahwa masyarakat Papua yang menyampaikan aspirasi secara damai dianggap sebagai
pemberontak atau kelompok separatis, hal ini menunjukan bahwa Indonesia sama
sekali tidak serius dalam mengungkap dan mengusut pelanggaran HAM di Papua.
Hal
ini jelas bertolak belakang dengan pernyataan Indonesia melalui perwakilannya
dalam Sidang Umum PBB ke 71 yang menyatakan bahwa komitmen Indonesia yang tidak
diperlu diragukan lagi dalam penegakan Hak Asasi Manusia di Papua. Sikap ini
jelas menutupi berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Papua.
Hal ini sangat ironis ketika Indonesia yang telah meratifikasi berbagai
peraturan terkait hak asasi manusia justru lemah dalam penegakan hak asasi
manusia.
Berbagai
pelanggaran ini seolah-olah tidak terjadi dan ditutup-tutupi di dunia
Internasional, sedangkan pelanggaran-pelanggaran berupa pembungkaman,
penangkapan, dan pembunuhan kepada masyarakat yang menyuarakan aspirasi masih
berlangsung dan jumlah korban semakin bertambah setiap harinya di papua
Lihat:
Aktivis HAM Desak PBB Dengarkan Seruan tentang Papua Menyikapi hal ini Lembaga
Bantuan Hukum Jakarta mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk
melakukan pemantaun khusus terkait pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia di
Papua, dan Mendorong Presiden Joko Widodo untuk terbuka dalam memberikan
informasi terkait pelanggaran hak asasi manusia di Papua serta menghentikan
segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua.
Sumber: http://www.tabloid-wani.com/
Sumber: http://www.tabloid-wani.com/
No comments:
Post a Comment